MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL DAN ILMU RIJALUL HADITS
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Ulumul
Hadits merupakan salah satu disiplin ilmu agama yang sangat penting, terutama
sekali untuk mempelajari dan menguasai hadits secara baik dan tepat. Ada
beberapa cabang ilmu hadits yang terdapat dalam pembahasan ulumul hadist yaitu
: ilmu rijalul hadits, ilmu al-jarh wa at-ta’dil, ilmu fannil mubhamat, ilmu
‘illal al-hadits, ilmu gharib al-hadits, ilmu nasikh wa al-mansukh, ilmu talfiq
al-hadits, ilmu tashif wa at-tahrif, ilmu asbab al-wurud dan ilmu mushthalah
al-hadits.
Berbagai
cabang ilmu yang terdapat dalam kajian ulumul hadits tersebut, masing-masing
memiliki fungsi tersendiri untuk mendapatkan pengetahuan tentang shahih dan
tidaknya suatu hadits. Beberapa cabang ilmu hadits tersebut juga memiliki
tingkat kesukaran tersendiri dalam pengkajiannya, sehingga tidak sedikit ulama
yang mengkaji dan ahli dalam satu atau beberapa cabang ilmu hadits saja.
Oleh
karena tingkat kesukaran yang berbeda diantara cabang-cabang ilmu hadits
tersebut, membuat penulis kesulitan untuk mengkaji semuanya secara keseluruhan,
Salah satu contoh, ketika seoraang ulama hadits hendak menentukan tingkat
hadits yang dikeluarkan oleh periwayat hadits apakah shohih dan tidaknya,
diterima dan tidaknya suatu hadits maka terlebih daulu harus mencari tau dan
menganalisis seorang periwayat hadits tersebut, baik dan tidaknya hafalan,
serta memiliki cacat atau tidak periwayat tersebut, yang dapat diketahui
melalui ilmu rijalul hadits dan ilmu al-jarh wa at-ta’dil.
oleh karena sukarnya
setiap cabang ilmu-ilmu hadits diatas, penulis membatasi makalah ini dengan
membahas beberapa diantara disiplin ilmu yang ada pada ulumul hadits, yaitu
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dan Ilmu Rijalul Hadits.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
?
2. Apa
yang dimaksud dengan Ilmu Rijalul Hadits ?
3. Bagaimana
Hubungan antara Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dan Ilmu Rijalul Hadits ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
2. Untuk
mengetahui Ilmu Rijalul Hadits
3. Untuk
mengetahui Hubungan antara Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dan Ilmu Rijalul Hadits
BAB
II
PEMBAHASAN
TENTANG ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL DAN ILMU RIJALUL HADITS
A.
Ilmu
Al-Jarh wa At-Ta’dil
1.
Pengertian
Al-Jarh wa At-Ta’dil
Kalimat
Al-Jarh wa At-Ta’dil meruakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari
dua kata yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Secara bahasa, al-jarh merupakan masdar
dari kata jaraha– yajrahu yang
berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan
mengalirnya darah dari luka itu.[1] Dalam
pengertian lain disebutkan bahwa Al-Jarh berarti melukakan badan yang karenanya
mengeluarkan darah.[2]
Luka yang dimaksud dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata
tajam, atau berkaitan dengan non fisik misalnya luka hati karena kata-kata
kasar yang dilontarkan seseorang. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim
pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut
mempunyai arti menggugurkan keabsahan saksi.
Secara
istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam perawi
yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan atau ingatannya, yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.[3] Adapun
kata ‘al-tajrih’ menurut istilah berarti menafsirkan para perawi dengan
sifat-sifat yang menyebabkan lemah riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.
Atau dengan kata lain ‘at-tajrih’ adalah menempatkan suatu sifat cacat, yang
karenanya ditolak riwayatnya.[4]
Sebagian
ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan sebagian ulama
lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-jarh berkonotasi tidak
mencari-cari cela seseorang, yang biasanya telah tampak pada diri seseorang.
Sedang al-tajrih berkonotasi pada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap
sifat-sifat tercela seseorang.
Adapun
kata ‘at-ta’dil’ secara etimologi berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa
bahwa sesuatu itu lurus, yang merupakan lawan dari kata lacur. Orang adil
berarti orang yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti
menilainya positif. Adapun secara terminology, ‘at-ta’dil’ berarti orang yang
tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.[5]
Dalam
sumber lain pengertian ‘ta’dil’ dalam masalah periwayatan, dapat dilihat dari
dua segi yaitu:[6]
a. Ta’dil
dengan arti At-tawsiyah (menyamakan)
b. Ta’dil
menurut istilah ahli hadits adalah menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat
yang menetapkan kebersihannya, maka nampaklah keadilannya, dan diterima
riwayatnya.
Lafadz
al-jarh menurut muhaditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan
keadilan dan kehapalannya. Menjarh atau mentajrih seorang rawi berarti
menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau
tertolak apa yang diriwayatkannya. Adapun rawi dikatakan adil adalah orang yang
dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya.
Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi sehingga apa yang diriwayatkannya dapat
diterima dan disebut menta’dilkannya.[7]
Pada
prinsipnya, ilmu jarh wa ta’dil adalah bentuk lain dari upaya untuk meneliti
kualitas hadits bisa diterima (maqbul) atau ditolak (mardud). Adapun yang
menjadi objek penelitian suatu hadits selalu mengarah pada dua hal penting,
yang pertama berkaitan dengan sanad/rawi (rangkaian yang menyampaikan) hadits,
dan kedua berkaitan dengan matan (redaksi) hadits. Dengan demikian keberadaan
sanad dan matan menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Berdasarkan
pengertian diatas, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu materi dari pembahasan
dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat atau adilnya seorang yang
meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi haditsnya.
2.
Pertumbuhan
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Ilmu
Al-Jarh wa At-Ta’dil tumbuh bersama dengan tumbuhnya periwayatan hadits dalam
Islam, karena untuk mengetahui hadits yang shohih dan keadaan para perawinya,
sehingga dengan ilmu ini memungkinkan menetapkan kebenaran seorang perawi atau
kedustaannya sampai mreka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak
(Maqbul dan Mardud).[8]
Menurut
Ibnu Adi (w. 365 H), dalam mukadimah kitabnya Al-Kamil, penilaian terhadap para
rawi ini telah dimulai sejak para sahabat. Diantara para sahabat yang sering
memberikan peilaian terhadap rawi hadits ini adalah Ibnu Abbas (w. 68 H),
Ubaidah Ibnu Tsamit (w. 34 H), dan Anas Bin Malik (w. 93 H).[9]
Ulama
yang sering memberikan penilaian pada masa tabiin adalah Asy-Syabi (w. 103 H),
Ibnu Sirin (w. 110 H), Said Ibnu Al-Musayyad (w. 94 H). pada masa tabiin ini
masih sedikit orang yang diandang cacat, namun setelah abad kedua Hijriyah
banyak ditemukan orang-orang yang dianggap lemah dalam meriwayatkan hadits.
Kelemahan mereka adakalanya karena mereka mengirsalkan[10]
hadits, adakalanya karena memarfu’kan[11]
hadits yang sebenarnya mauquf,[12]
dan karena ada beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti yang dilakukan
oleh Abu Harun Al-Abdari (w. 143 H).[13]
Di
antara pemuka-pemuka Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah Yahya Ibnu Main (w. 233 H),
Ahmad Ibn Hambal (w. 241 H), Muhammad Ibn Sa’ad (w. 230 H)[14]
dan banyak lagi lainnya. Kitab-kitab
yang terkenal dalam cabang ilmu hadits ini adalah Thabaqat Ibnu Sa’ad dan
At-Takmil fi Ma’rifat Ats-Tsiqat wa Adh-Dhu’afa wa Al-Mujahil.[15]
Demikianlah
ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan, untuk menentukan
bobot dan kualitas suatu hadits. Sejak dahulu para ulama menerangkan tentang
cacat atau tidaknya seorang perawi hadits, sehingga membuka tabir kegelapan
dalam menentukan nilai atau kualitas hadits bagi ulama berikutnya.[16]
3.
Sifat-sifat
Yang Menyebabkan Seorang Perawi dinilai Jarh[17]
Sifat-sifat
tersebut antara lain:
a. Dusta
Yang dimaksud dengan
dusta disini adalah seseorang tersebut pernah melakukan dusta terhadap sesuatu
atau beberapa hadits.
b. Tertuduh
Berbuat Dusta
Yang demaksud dengan
hal ini adalah seorang perawi sudah tenar dikalangan masyarakat sebagai orang
yang berdusta. Periwayatannya dapat diterima jika seorang tersebut betul-betul
telah bertaubat.
c. Fasik
(melanggar ketentuan syara)
Fasik disini maksudnya
adalah fasik yang nampak secara lahiriyah, bukan dalam hal I’tiqiyah, maka
tetap periwayatannya ditolak.
d. Jahalah
Yang dimaksud disini
adalah perawi hadits itu tidak diketahui kepribadiannya, apakah ia sebagai
orang yang tercacat (jarih).
e. Ahli
Bid’ah
Yaitu perawi yang
tergolong melakukan bid’ah dalam hal I’tikad yang menyebabkan ia kufur, maka
riwayatnya tertolak.
f. Hukum
Menjarh Seorang Perawi
Annawawi muqaddimah
soheh muslim mengatakan bahwa ulama telah sepakat membolehkan seseorang untuk
mencacat (menjarh) orang lain.
4.
Metode
Untuk Mengetahui Keadilan dan Kecacatan
Keadilan
seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan, yaitu : [18]
a. Dengan
kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang yang
adil (bisy-syuhroh). Seperti terkenalnya sebagai seorang yang adil di kalangan
ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj,
Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah
terkenal sebagai seorang yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu
diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
b. Dengan
pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang
adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum terkenal
sebagai rawi yang adil.
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu :
a. Berdasarkan
berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya.
b. Berdasarkan
pentajrihan dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia
cacat.
Demikian
ketetapan yang dipegang oleh muhaditsin, sedangkan menurut para fuqoha,
sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.
Ada
beberapa masalah yang berhubungan dengan menta’dilkan dan menjarhkan seorang
rawi, di antaranya penilaian secara mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan
adakalanya dengan cara mufasar (disebutkan sebab-sebabnya).
Tentang
mubham inilah yang diperselisihkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat :[19]
a. Menta’dilkan
tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu banyak
sekali, sehingga jika disebutkan hanya akan menyibukkan saja. Adapun
mentajrihkan tidak diterima, kalau tidak menyebutkan sebabnya, karena jarh itu
dapat berhasil dengan satu sebab saja.
b. Untuk
menta’dil harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu.
Karena sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan,
sedangkan mentajrihkan tidak bisa dibuat-buat.
c. Untuk
kedua-duanya harus disebut sebab-sebabnya.
d. Untuk
keduanya tidak perlu disebut sebab-sebabnya, sebab si jarh dan mu’addil sudah
mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara sebab munculnya
keriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman tentang
penilaian terhadap para rawi.
5.
Syarat-syarat
bagi orang yang menta’dilkan dan mentajrihkan
Ada
beberapa syarat bagi orang yang menta’dilkan (Mu’addil) dan orang yang
menjarahkan (Jarih), yaitu :[20]
a. Berilmu
pengetahuan,
b. Takwa,
c. Wara’
(orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan
makruhat-makruhat),
d. Jujur,
e. Menjauhi
fanatik golongan,
f. Mengetahui
sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentajrihkan.
6.
Pertentangan
antara Al-Jarh dan At-Ta’dil
Dalam
masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut :
a. Al-Jarh
harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya lebih banyak dari
pada jarhnya. Sebab orang yang mencela biasanya lebih mengetahui apa yang tidak
diketahui oleh orang yang memujanya, berdasarkan qaidah yang artinya ‘jarh
didahulukan atas ta’dil secara mutlak’.[21]
b. Ta’dil
didahulukan dari pada jarh, bila yang menta’dilkan lebih banyak, karena
banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan rawi-rawi yang bersangkutan.
c. Bila
jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, yakni
keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara
keduanya.[22]
7.
Lafadzh-lafadzh
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Lafadzh-lafadzh
yang digunakan untuk mentajrih dan menta’dil itu bertingkat. Ada enam tingkatan
dalam mentajrih dan menta’dil seorang rawi, yaitu :
a. Segala
sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan. Misalnya :
1) Autsaqu
An-Nasi artinya ‘Orang yang paling Tsiqoh atau yang paling kuat hapalannya’.
2) Ilaihi
Al-Muntaha artinya ‘Kepadanyalah segala kesudahan’.
3) Tsiqatun
fauqo Tsiqatin artinya ‘Orang yang Tsiqat melebihi orang tsiqat’.
b. Memperkuat
ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan
kedhabitannya. Misalnya :
1) Tsaqqotun
Tsaqqot artinya ‘Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah’, yaitu oang yang sangat
dipercaya.
2) Hujjatun
Hujjah artinya ‘Orang yang ahli (lagi) petah lidahnya’.
3) Hafidzun
Hujjah artinya ‘Orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya’.
c. Menunjukkan
suatu lafadz yang mengandung arti ‘kuat ingatan’. Misalnya, Dhabith artinya
‘Kuat hapalannya’.
d. Menunjukkan
keadilan dan kedhabithan, tetapi tidak menggunakan lafadz yang mengandung kuat
ingatan dan adil. Misalnya, Ma’mun artinya ‘Orang yang dapat memegang amanat’.
e. Menunjukkan
kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya kedhabithan. Misalnya:
1) Jayyidul
Hadits artinya ‘Orang yang baik haditsnya’.
2) Hasanul
Hadits artinya ‘Orang yang bagus haditsnya’.
f. Menunjukkan
arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan
lafazh “Insya Allah”, atau lafazh tersebut ditashgirkan (pengecilan arti), atau
lafazh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya, Fulan Maqbul Haditsahu
artinya ‘Fulan orang yang diterima hadits-haditsnya’.[25]
Kemudian
tingkatan dan lafazh-lafazh untuk mentajrih rawi-rawi yaitu :
a. Menunjukkan
pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya. Misalnya:
1) Audo’u
An-Nas artinya ‘Orang yang paling dusta’.
2) Akdzabu
An-Nas artinya ‘Orang yang paling bohong’.
3) Ilaihil
muntaha fil wadh’I artinya ‘Orang yang paling menonjol kebohongannya’.
b. Menunjukkan
sangat cacat dengan menggunakan lafazh-lafazh berbentuk shigat muballaghah.
Misalnya:
1) Kadzaabun
artinya ‘Orang yang pembohong’.
2) Wadhaa’un
artinya ‘Orang yang pendusta’.
3) Dajjaalun
artinya ‘Orang yang penipu’.
c. Menunjukkan
kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya. Misalnya, Fulan matruk al-hadits
artinya ‘Fulan yang ditinggalkan haditsnya’.
d. Menunjukkan
sangat lemahnya. Misalnya, Fulan Dhaif artinya ‘Fulan orang yang lemah’.
e. Menunjukkan
kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hapalannya. Misalnya:
1) Fulan
Majhul artinya ‘Fulan orang yang tidak dikenal identitasnya’.
2) Fulan
munkarul hadits artinya ‘Fulan orang yang munkar hadits’.
f. Menyifati
rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tapi sifat itu
berdekatan dengan adil. Misalnya:
1) Fulan
layyin artinya ‘Fulan orang yang lunak’.
2) Fulan
laisa bil hujjah artinya ‘Fulan orang yang tidak dapat digunakan hujjah
haditsnya’.
3) Fulan
laisa bil qua artinya ‘Fulan orang yang tidak kuat’.
Orang
yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrihkan pada
tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai I’tibar
(tempat pembanding).[26]
Hal
yang erlu diperhatikan dalam pentajrihan atau penta’dilan, yaitu apabila kita
temuai sebagai ahli jarh dan ta’dil, dalam menjarh seorang rawi, kita tidak
perlu segera menerima pentajrihan tersebut, tetapi hendaklah menyelidiki
terlebih dahulu.[27]
B.
Ilmu
Rijalul Hadits
Ilmu
Rijalul Hadits adalah ilmu yang membahas hal ikhwal dan sejarah para rawi dari
kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’ at-tabi’in.
Ulama
hadits mendefinisikan ilmu rijalul hadits yaitu ilmu yang membahas para rawi
hadits, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, mauun dari generasi-generasi
sesudahnya.[28]
Dalam penjelasan lain disebutkan ilmu rijalul hadits adalah ilmu untuk
mengetahui para perawi hadits dalam kapasitas mereka dalam perawi hadits.[29]
Secara
sederhana, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu rijalul hadits merupakan ilmu
yang membahas tentang kehidupan dan atau sejarah hidup para periwayat hadits
dari semua generasi pada setiap thabaqahnya.
Ilmu ini mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam ranah kajian ilmu hadits karena kajian ilmu
hadits pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu: matan dan sanad. Ilmu
rijalul hadits menempati tempat yang khusus mempelajari persoalan-ersoalan
sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang menjadi sanad merupakan separuh
pengetahuan.
Ulama
yang pertama kalai memperkenalkan dan mempelajari secara serius ilmu ini ialah
Bukhari, ‘Izzad Bin Ibn al-atsir atau yang lebih dikenal dengan Ibn Al-Atsir
(630 H). karya yang terkenal dari disiplin ilmu ini adalah Al-Isti’ab fi
Ma’rifah Al-ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), Al-Ishabah fi Tamyiz
as-Sahabah, Tahzib at-Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Tahzib al-Kamal
karya Abdul Hajjaj Yusuf bin Az-Zakki Al-Mizzi (w. 742 H).[30]
C.
Hubungan
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dan Ilmu Rijalul Hadits
Dari
pembahasan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan tentang hubungan kedua ilmu
tersebut bahawa antara Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dengan Ilmu Rijalul Hadits merupakan
cabang ilmu hadits yang sama pentingnya dalam menentukan kebenaran suatu hadits
serta saling berkaitan satu dengan yang lainnya, bahkan bisa dikatan ilmu
al-jarh wa at-ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijalul hadits, begitupun
sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan pembahasannya yaitu tentang
periwayat hadits yang masuk dalam sanad hadits, meskipun ada sedikit perbedaan
terhadap objek pembahasannya yaitu :
1. Ilmu
Al-Jarh wa At-Ta’dil menunjukkan tindakan secara aktif untuk mengetahuai secara
mendalam tentang kecacatan-kecacatan yang terdapat dalam diri periwayat.
2. Sedangkan
Ilmu Rijalul Hadits tidak menunjukkan tindakan yang secara aktif untuk
mengetahui kecacatan yang ada pada diri periwayat hadits, akan tetapi lebih
membahas tentang biaografi dan kebiasaan yang senantiasa dilakukan oleh
periwayat dalam segala aktifitasnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Ilmu
Al-Jarh wa At-Ta’dil merupakan cabang-cabang ilmu hadits yang membahas tentang
para periwayat hadits, supaya dapat diketahui cacat dan tidaknya, adil dan
tidaknya seorang periwayat hadits, sehingga dapat diterima riwayatnya atau
bahkan ditolak riwayatnya secara keseluruhan.
2. Ilmu
Rijalul Hadits yaitu ilmu yang membahas para rawi hadits, baik dari kalangan
sahabat, tabi’in, mauun dari generasi-generasi sesudahnya. Dengan kata lain
Ilmu Rijalul Hadits merupakan ilmu yang membahas tentang kehidupan dan atau
sejarah hidup para periwayat hadits dari semua generasi pada setiap
thabaqahnya.
3. hubungan
antara Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dengan Ilmu Rijalul Hadits merupakan cabang
ilmu hadits yang sama pentingnya dalam menentukan kebenaran suatu hadits serta
saling berkaitan satu dengan yang lainnya, bahkan bisa dikatan ilmu al-jarh wa
at-ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijalul hadits, begitupun sebaliknya. Hal
ini dapat dilihat dari kesamaan pembahasannya yaitu tentang periwayat hadits
yang masuk dalam sanad hadits.
B.
Saran
Tentunya,
dalam penulisan makalah ini masih jauh sekali dari kata sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan saran dan masukan dari para pembaca terutama Dosen Mata
Kuliyah Ulumul Hadits, serta sahabat-sahabat seperjuangan untuk perbaikan
kedepannya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua khususnya bagi
penulis, dan umumnya bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Kamus Arab : Arab-Indonesia,
Indonesia-Arab,
Surabaya: Apollo.
Sahrani, Sohari, dkk., (ed.), Ulumul
Hadits, Banten: IAIN SMH Banten, 2009.
Soetari, Ending,
Ilmu
Hadits: Kajian Diriwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.
Solahudin
, M. Agus, dkk., (ed.) Ulumul Hadis, editor: Drs. Maman
Abd. Djaliel, M.Ag., Bandung: Pustaka Setia, 2015, cetakan kedua.
[1] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), cet. ke 2, h. 157.
[2] Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits, (Banten: IAIN SMH Banten,
2009), h. 235.
[3] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 157.
[4] Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits…, h.235.
[5] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 158.
[6] Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits…, h.235-236.
[7] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 158.
[8] Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits…, h.236-237.
[9] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 114.
[10] Hadits Irsal adalah hadits yang
penyebutan sanadnya hanya menyebutkan Rasul, Sahabat, dan Tabiin saja, tanpa
menyebutkan Tabiin At-Tabiin dan generasi seterusnya.
[11] Hadits Marfu’ adalah perkataan,
perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik sanad
hadits tersebut bersambung-sambung atau terputus, baik yang menyandarkan hadits
tersebut sahabat atau yang lainnya. (Lihat
Ulumul Hadits M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, halaman 155.
[12] Hadits Mauquf adalah hadits yang
disandarkan kepada sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir.
[13] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 114.
[14] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 115.
[15] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 115.
[16] Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits…, h.237.
[17] Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits…, h.237-240.
[18] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 159-160.
[19] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 160-161.
[20] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 162.
[21] Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits…, h.244-245.
[22] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 163.
[23] ‘Ta’arudh’ artinya ‘menentang,
menuntut’. Lihat Kamus Arab: Arab-Indonesia,
Indonesia-Arab, (Surabaya: Apollo), h. 52.
[24] Ending Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Diriwayah dan Dirayah,
(Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), h. 208.
[25] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 165-166.
[26] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 168.
[27] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 168.
[28] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 153.
[29] Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits…, h. 125.
[30] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 112.